Hukum & Kriminal

YBH SSB: Perlawanan Warga Tertahan, Sidang Derden Verzet Kembali Tertunda

2

PALEMBANG, SUMSELJARRAKPOS– Upaya hukum Yayasan Bantuan Hukum Sumatera Selatan Berkeadilan (YBH-SSB) dalam membela hak warga atas tanah mereka kembali menemui jalan buntu. Sidang kedua perkara Derden Verzet yang diajukan YBH-SSB di Pengadilan Negeri Palembang kembali ditunda, Rabu (14/5/2025), lantaran ketidakhadiran sejumlah pihak terkait dalam ruang persidangan.

Perkara ini mencuat setelah rencana eksekusi sepihak terhadap sebidang tanah milik warga Palembang yang namanya tidak tercantum dalam putusan pengadilan sebelumnya.

Tanpa adanya proses aanmaning (peringatan eksekusi), tanpa pemberitahuan, dan tanpa panggilan resmi, tanah tersebut tiba-tiba masuk dalam daftar objek eksekusi.

“Ini bukan hanya kelalaian administratif, ini bentuk teror prosedural yang membahayakan kepastian hukum dan hak sipil warga negara,” tegas M. Miftahudin, S.H., Ketua YBH-SSB Cabang Palembang, usai sidang.

Miftahudin hadir bersama dua kuasa hukum lainnya, Muhamad Khoiry Lizani, S.H., dan Ismail, S.H., yang sama-sama menilai penundaan sidang sebagai sinyal lemahnya komitmen lembaga peradilan dalam melindungi rakyat kecil. Mereka menyebut praktik ini sebagai bentuk kriminalitas hukum yang dikemas dalam legitimasi formal.

“Bayangkan, pemilik tanah tidak pernah menjadi pihak dalam perkara sebelumnya, tetapi tanahnya dieksekusi. Ini bukan kekeliruan, ini penyerangan terhadap konstitusi,” kata Khoiry.

YBH-SSB menempuh jalur Derden Verzet, mekanisme hukum yang memungkinkan pihak ketiga yang merasa dirugikan akibat eksekusi atas objek yang bukan miliknya untuk mengajukan perlawanan. Namun, jalur ini pun tak berjalan mulus.

“Sidang pertama ditunda, kini yang kedua pun demikian. Bukti belum sempat kami ajukan, keberatan belum bisa disampaikan. Jika proses hukum seperti ini terus dibiarkan, keadilan hanya menjadi jargon kosong,” ujar Ismail.

Pihak YBH-SSB menyoroti maraknya penyalahgunaan prosedur eksekusi yang diduga kuat menjadi celah empuk bagi praktik mafia tanah. Ketika pengadilan memproses eksekusi tanpa verifikasi menyeluruh atas status objek, warga rentan menjadi korban perampasan hak secara sistematis.

“Jika pengadilan justru menjadi alat legalisasi kejahatan, ini sangat berbahaya. Kami tidak anti terhadap hukum, tapi kami menolak hukum digunakan untuk menindas,” tandas Khoiry.

Perkara ini mulai mendapat perhatian dari kalangan akademisi, praktisi hukum, hingga aktivis agraria. Mereka menilai kasus tersebut sebagai cerminan dari krisis dalam sistem eksekusi pengadilan, yang kian rentan disusupi kepentingan tertentu.

Miftahudin menegaskan pihaknya tidak akan mundur. “Ini bukan soal satu bidang tanah. Ini soal prinsip. Jika pelanggaran seperti ini dibiarkan, maka siapa pun bisa menjadi korban. Hari ini klien kami, besok bisa warga lainnya,” ucapnya.

Pengadilan dijadwalkan akan menggelar sidang lanjutan dalam waktu dekat. Namun pertanyaan besar kini menggantung: akankah lembaga peradilan bertindak tegas melindungi hak warga? Atau justru kembali tunduk pada prosedur yang menyesatkan dan membuka ruang penyimpangan?

“Kalau negara diam, kami akan bersuara. Kalau hukum jadi alat kuasa, kami akan lawan,” pungkas Miftahudin. ***

Exit mobile version