PALEMBANG, SUMSEL JARRAKPOS, — Gelombang keluhan datang dari sejumlah kontraktor yang mengerjakan proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) maupun pemerintah daerah. Mereka merasa terbebani dengan tuntutan Inspektorat untuk mengembalikan dana negara sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Para kontraktor menilai kewajiban pengembalian dana tersebut tidak adil, sebab dalam praktiknya sebagian besar biaya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan proyek sudah habis tersedot ke berbagai pos kewajiban non-teknis, mulai dari pajak, pengawasan, hingga potongan di luar anggaran resmi.
“Total yang kami keluarkan bisa mendekati 45 persen untuk pajak dan berbagai kewajiban non-anggaran. Kalau ditambah dengan biaya operasional proyek, hampir 60 persen dana sudah habis. Kami hanya bisa ambil untung sekitar 15 persen. Jadi, yang benar-benar terserap untuk pekerjaan fisik tidak sampai 40 persen,” ujar salah satu kontraktor, Rabu (24/9/2025).
Feri Kurniawan Deputi (Koordinator) dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), posisi kontraktor semakin terjepit karena Inspektorat hanya membebankan tanggung jawab pengembalian kepada pihak kontraktor. Padahal, sebagian dana proyek tersebut diduga juga masuk ke oknum pejabat dinas terkait.
“Kalau hanya kontraktor yang disalahkan, ini tidak fair. Seharusnya beban itu dibagi: kepala daerah, dinas terkait, atau seluruh pihak yang ikut menerima aliran dana juga harus bertanggung jawab. Kalau semua dibebankan ke kontraktor, ini jelas tidak adil,” ungkap Feri.
Inspektorat Dinilai Tak Berimbang
Keluhan ini menguatkan persepsi bahwa peran pengawasan Inspektorat belum sepenuhnya berimbang. Alih-alih mendorong akuntabilitas bersama, kontraktor menilai lembaga pengawas lebih memilih menekan pihak yang paling lemah dalam rantai proyek, yaitu pelaksana lapangan.
Kordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI), yang juga aktif memantau kasus ini, menyebut pihaknya siap mengawal agar para kontraktor tidak dikorbankan sendirian.
“Kami berdoa agar yang terkena tidak terlalu banyak, mudah-mudahan hanya sekitar 50 orang saja. Tapi yang lebih penting, jangan sampai akar persoalannya dibiarkan. Kalau ada oknum pejabat dinas yang ikut menikmati dana, mereka juga harus dimintai pertanggungjawaban,” ujar Feri.
Feri menuturkan, Fenomena ini membuka kembali persoalan klasik dalam tata kelola proyek pemerintah: adanya biaya-biaya tidak resmi yang justru merugikan negara. Proyek yang semestinya dikerjakan dengan anggaran penuh akhirnya menyisakan kualitas pembangunan yang buruk karena dana yang tersedia di lapangan tidak mencukupi. persoalan ini tak bisa hanya diselesaikan dengan meminta kontraktor mengembalikan dana.
Pemerintah harus membongkar rantai distribusi anggaran sejak awal pencairan hingga proyek berjalan,” tuturnya.
“Kalau akar masalahnya tidak dibongkar, kasus ini akan terus berulang. Inspektorat seharusnya bukan hanya mengejar kontraktor, tetapi juga membuka siapa saja yang ikut menikmati dana di luar mekanisme resmi,”pungkasnya. (WNA)