BANYUASIN,SUMSEL JARRAKPO.COM. — Praktik usaha pabrik pupuk UD Merpati di Desa Rimba Balai, Kecamatan Banyuasin III, semakin disorot publik. Meski secara administratif perusahaan ini mengantongi sejumlah dokumen legal, temuan lapangan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banyuasin justru mengungkap potret buram di balik operasional perusahaan tersebut.
UD Merpati diketahui mengoperasikan dua mesin berat — drayer dan mesin 4R — untuk mengolah bahan pupuk dengan kapasitas fantastis mencapai 60 ton per jam dan beroperasi nonstop selama 24 jam setiap hari. Namun, ironisnya, DLH mengungkap bahwa perusahaan belum mengantongi sejumlah izin vital, termasuk Izin Usaha Pertambangan, PKKPR, verifikasi teknis pertanahan, serta izin dan Surat Keputusan dari sektor perindustrian.
Dengan skala industri sebesar itu, semestinya UD Merpati tidak bisa lagi dikategorikan sebagai usaha “berisiko rendah” seperti yang tercantum dalam sistem OSS-RBA melalui KBLI 23990. Kegiatan industri besar tanpa izin lengkap ini mengarah pada dugaan pelanggaran hukum dan beroperasi secara ilegal.
DLH juga mencatat ketidaksesuaian standar industri, seperti tidak adanya papan nama perusahaan, tidak diterapkannya prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta indikasi pelanggaran ketenagakerjaan. Informasi dari lapangan menyebutkan bahwa karyawan tidak dibayar sesuai UMR dan tidak diberi jaminan sosial, memperkuat dugaan adanya eksploitasi buruh.
Lebih parah lagi, pihak perusahaan dikabarkan enggan memberikan klarifikasi kepada media dan melarang pengambilan dokumentasi di area pabrik. Seorang pengurus bahkan mengaku bahwa dokumen-dokumen izin saat ini “sedang ditahan oleh pihak bank” — pernyataan yang memicu tanda tanya besar dan menunjukkan ketidaktransparanan dalam manajemen usaha.
Kepala Bidang Lingkungan DLH Banyuasin, Noorman Apriansyah, membenarkan bahwa UD Merpati memang memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan SPPL otomatis. Namun, legalitas dasar di sektor teknis yang lebih krusial ternyata belum dikantongi. Dengan kondisi ini, aktivitas produksi yang terus berlangsung justru terindikasi kuat sebagai operasi ilegal berkedok legalitas formal.
DLH pun merekomendasikan agar ada koordinasi lintas sektor, termasuk Disnakertrans dan Kementerian Perindustrian, mengingat keterbatasan kewenangan DLH dalam ranah ketenagakerjaan dan industri.
Situasi ini memunculkan kekecewaan masyarakat, terutama warga sekitar yang terdampak. Suara publik mulai menggema, menuntut penghentian sementara operasional pabrik hingga seluruh perizinan rampung dan audit lingkungan serta ketenagakerjaan selesai dilakukan. Tanpa itu, UD Merpati hanya akan menjadi contoh buruk dari lemahnya penegakan hukum lingkungan dan ketenagakerjaan di Kabupaten Banyuasin.(WT)