Daerah

Tolak Komersialisasi Pendidikan, Mahasiswa Sumsel Tuntut Sekolah Gratis dan Evaluasi PPDB 2024

5

PALEMBANG, SUMSELJARRAKPOS — Aksi peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 di Palembang diwarnai dengan unjuk rasa besar-besaran oleh aliansi mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus Sumatera Selatan dan sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus di Kota Palembang.

Demonstrasi yang berlangsung, Jumat (2/5/25) di depan Kantor Gubernur Sumatera Selatan itu membawa 12 tuntutan utama terkait reformasi sektor pendidikan di daerah tersebut.

Aksi damai tersebut berlangsung panas setelah sejumlah peserta aksi mengaku mendapat perlakuan represif dari aparat keamanan.

Massa mengecam tindakan tersebut dan meminta Kapolda Sumsel menindak tegas oknum aparat yang dinilai berlebihan dalam mengamankan jalannya unjuk rasa.

Sekretaris Umum Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Sumatera Selatan, M. Eko Wahyudi, menegaskan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk kritik terbuka terhadap kebijakan pemerintah daerah yang dinilai gagal dalam menjamin hak pendidikan bagi masyarakat.

“Ini bukan gerakan partisan. Kami turun ke jalan demi membela hak rakyat atas pendidikan yang adil, gratis, dan transparan. Sayangnya, respons dari pihak berwenang justru menunjukkan ketidaksiapan dalam menerima kritik,” kata Eko dalam keterangannya, Sabtu (3/5/25).

Desakan Reformasi Pendidikan di Sumsel

Aliansi mahasiswa menyampaikan 12 poin tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Beberapa di antaranya adalah realisasi program sekolah rakyat, penghapusan pungutan komite, perbaikan fasilitas pendidikan di semua jenjang, percepatan pelantikan tenaga PPPK, serta transparansi penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Salah satu sorotan utama adalah tuntutan agar Pemerintah Provinsi mengevaluasi total sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 yang dinilai tidak transparan, serta menyusun ulang aturan PPDB 2025 agar lebih berpihak kepada masyarakat.

“Kami menemukan banyak indikasi ketidakadilan dalam PPDB tahun ini. Prosesnya tidak transparan, bahkan membuka ruang praktik manipulasi dan pungutan liar. Kami minta aturan itu dicabut dan disusun ulang,” tegas Eko.

Massa juga menuntut pencopotan pejabat Dinas Pendidikan Sumsel yang dianggap bertanggung jawab atas kekacauan PPDB 2024, serta meminta penjelasan atas program pendidikan bertaraf internasional yang disebut tidak kunjung terealisasi dalam lima tahun terakhir.

Penolakan Komersialisasi dan Liberalisasi

Dalam pernyataannya, aliansi mahasiswa menolak tegas segala bentuk komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dinilai merugikan rakyat kecil. Mereka menyerukan agar pemerintah daerah mengembalikan prinsip pendidikan sebagai hak dasar, bukan komoditas pasar.

Mereka juga menolak masuknya unsur militerisme ke dalam dunia pendidikan serta menuntut pembentukan satuan tugas (satgas) untuk mencegah kekerasan dan tindakan asusila di lingkungan sekolah.

“Pendidikan harus dibebaskan dari kekerasan, intimidasi, dan kepentingan komersial. Kami ingin pendidikan yang gratis, ilmiah, dan demokratis,” ujar perwakilan mahasiswa dari GMNI.

Kritik terhadap Tindakan Represif Aparat

Aksi yang digelar secara damai itu disebut berakhir ricuh setelah beberapa peserta mengalami intimidasi dari aparat. Mahasiswa menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap aspirasi publik.

“Kami sangat kecewa. Aksi damai ini seharusnya dijamin oleh negara. Kami minta Kapolda mengevaluasi dan memberi sanksi kepada oknum yang melanggar prosedur dalam penanganan massa aksi,” tegas Eko.

Ia menambahkan bahwa mahasiswa akan terus mengawal isu ini dan siap menggelar aksi lanjutan jika tuntutan tidak direspons secara serius oleh Gubernur Sumatera Selatan.

Catatan Kritis bagi Pemerintah Daerah

Aksi ini menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan agar lebih serius menangani sektor pendidikan.

Kegagalan menjamin pendidikan yang inklusif dan berkualitas dinilai tidak hanya melanggar amanat konstitusi, tetapi juga memperbesar kesenjangan sosial di daerah.

“Pendidikan adalah hak rakyat, bukan privilese segelintir elit. Jika pemerintah daerah tidak bisa menjamin itu, maka kami akan terus bergerak,” pungkas Eko.***

Exit mobile version