Hukum

Ratusan Hektar Kebun Ilegal di Muara Enim: Berton-ton Panen, Selembar Izin Pun Tak Ada?

2

MUARA ENIM, SUMSELJARRAKPOS – Selama satu setengah dekade, perkebunan sawit dan karet seluas 200 hektar di Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, diduga beroperasi tanpa izin. Dari lahan ini, miliaran rupiah dipanen setiap tahun. Namun, bagi negara? Nol rupiah.

Kebun tersebut terletak di 3 lokasi, yakni Desa Beringin, Menanti, dan Aur ini dikelola oleh seorang pria berinisial G (53), warga Desa Lalang Sembawa, Kabupaten Banyuasin, disebut-sebut tak memiliki dokumen legal, baik izin usaha perkebunan.

Ironisnya, selama belasan tahun, aktivitas tersebut berjalan mulus seolah tanpa tersentuh aparat?

Sejumlah warga sekitar bahkan menuturkan, aktivitas panen dan distribusi hasil kebun dilakukan secara terbuka.

“Kebun itu sudah lama ada, semua orang tahu. Tapi tak pernah ada tindakan,” ujar salah satu warga yang meminta namanya dirahasiakan.

Hal itu, terungkap dari hasil investigasi dalam penyelusuran catatan resmi di Kantor Desa. Kepala Desa Beringin, Beri Prabu Putra, membuka lemari arsip. Dari tumpukan berkas, tidak ada satu pun dokumen Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) atas nama G.

“Kami tidak pernah menerima permohonan izin. Bahkan laporan pembukaan lahan pun tidak ada. Semua berjalan begitu saja, seperti kebun itu miliknya sejak dulu,” ujar Beri.

Hal senada disampaikan Kepala Desa Menanti, Damai Hendra, yang menegaskan tidak ada pemasukan PBB dari lahan tersebut ke kas desa.

“Selama 15 tahun ini, nol rupiah masuk dari pajak kebun itu,” katanya.

Data yang peroleh tim investigasi di lapangan memperlihatkan hasil yang mencengangkan. Dari sawit saja, dengan asumsi 200 hektar × 20 ton tandan buah segar (TBS) per tahun × Rp2.000/kg, G bisa mengantongi sekitar Rp8 miliar per tahun. Itu belum termasuk karet.

Dari keterangan sejumlah warga, setiap Selasa hasil getah karet mencapai 5 ton per minggu, yang berarti tambahan ratusan juta rupiah per bulan.

Namun, ketika tim investigasi menelusuri arsip desa hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN), legalitas lahan ini masih kabur. Ada indikasi sebagian areal bahkan tidak memiliki sertifikat resmi.

Hal itu diperkuat dari keterangan yang disebutkan oleh salah satu perangkat desa menyebut bahwa status kepemilikan lahan ini tidak jelas. Ada indikasi bahwa sebagian areal bahkan tidak memiliki sertifikat hak milik atau hak guna usaha.

“Kalau dicek di BPN, belum tentu semua masuk database resmi,” kata seorang perangkat desa yang meminta namanya dirahasiakan.

Padahal secara regulasi lahan di atas 25 Hektar harus mengantongi Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B), sebagaimana diatur dalam Permentan RI No. 98/2013 Pasal 8: kebun di atas 25 hektar wajib punya IUP-B.

UU 39/2014 Pasal 105: pelanggaran bisa dipidana 5 tahun penjara dan denda Rp10 miliar. UU 28/2009 + UU KUP: wajib bayar pajak daerah dan pajak penghasilan.

UU Tipikor 31/1999 Pasal 2 Ayat 1: memperkaya diri secara melawan hukum yang merugikan negara adalah tindak pidana korupsi.

Dengan perhitungan kasar, potensi penerimaan negara/daerah yang hilang dalam 15 tahun bisa menembus ratusan miliar rupiah.

Tokoh masyarakat Lubai menilai ini bukan sekadar pelanggaran izin. “Ini arogansi. Kalau dibiarkan, pengusaha lain akan meniru. Mereka akan berpikir: kalau dia bisa, kenapa saya tidak?” katanya.

Kini masyarakat mendesak aparat penegak hukum dan Dinas terkait untuk turun tangan. Pemeriksaan harus menyeluruh: dari status tanah, legalitas izin, hingga pajak yang hilang.

Kasus G bisa menjadi batu ujian bagi supremasi hukum di Kabupaten Muara Enim. Apakah hukum akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ataukah aparat berani menegakkan aturan tanpa pandang bulu?

Waktu akan menjawab. Sementara itu, ratusan hektar kebun di Lubai masih berdiri kokoh diam, tapi menyimpan cerita tentang uang, kuasa, dan hukum yang terabaikan.

Sementara itu, saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, G tak menampik keberadaan kebun tersebut. Ia mengklaim lahan seluas ratusan hektar itu adalah milik pribadi yang dikelola keluarganya.

“Itu lahan pribadi dan dikelola keluarga. Jadi tidak perlu izin,” katanya singkat, seolah menepis kewajiban hukum yang jelas mengatur soal perizinan perkebunan.

Exit mobile version