PALEMBANG, SUMSEL JARRAKPOS, – Stigma dan diskriminasi masih menjadi batu sandungan terbesar dalam upaya penanggulangan HIV di Indonesia. Meski berbagai strategi nasional dicanangkan, tantangan di lapangan justru muncul dari rasa takut, malu, hingga kebingungan populasi kunci untuk bersuara.
Hal itulah yang mendorong Yayasan Intan Maharani (YIM) menggelar Workshop on Regular Monitoring on Stigma and Discrimination Related to HIV Response at District Level di Hotel Beston, Palembang, Selasa, 16 September 2025. Agenda ini melibatkan organisasi masyarakat sipil (OMS), komunitas populasi kunci, serta pemangku kepentingan lintas sektor.
Menurut data UNAIDS, baru 66 persen orang dengan HIV di Indonesia mengetahui statusnya, sementara hanya 26 persen yang mendapatkan pengobatan. “Tantangan terbesar ada di stigma dan diskriminasi. Orang dengan HIV dan populasi kunci masih sering terhalang akses layanan kesehatan maupun publik,” kata Anyk Kurniati, Paralegal Officer Palembang dalam program Community Strengthening System – Human Right (CSS-HR).
Dalam forum diskusi, sejumlah perwakilan komunitas mengungkapkan fakta bahwa diskriminasi tak hanya terjadi di layanan kesehatan, tapi juga di ruang-ruang publik. Kasus kekerasan yang dialami perempuan pekerja seks, misalnya, kerap dianggap sebagai risiko pekerjaan semata.
“Padahal, secara hak asasi manusia mereka sama dengan warga negara lainnya. Banyak kasus kekerasan fisik, psikis, bahkan ekonomi yang masuk ke paralegal, tapi korban sering takut melapor karena stigma,” ujar Anyk.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya dukungan bantuan hukum gratis. Selama dua tahun terakhir, dana untuk layanan bantuan hukum melalui LBH di Palembang tak lagi tersedia. Akibatnya, paralegal komunitas berinisiatif menggandeng mitra lain, termasuk akademisi hukum di kampus, agar tetap bisa memberi konsultasi tanpa biaya.
Workshop ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, salah satunya memperkuat jejaring OMS dan komunitas dengan lembaga bantuan hukum serta institusi akademis. Selain untuk mendampingi korban, jejaring ini diharapkan mampu menyusun concept note sebagai bahan advokasi ke pemerintah daerah maupun pusat.
“Ke depan kami ingin membangun sinergi lebih luas, termasuk dengan perguruan tinggi. Banyak fakultas hukum punya lembaga bantuan hukum mahasiswa yang bisa dijadikan mitra strategis,” kata Anyk.
YIM menegaskan bahwa keterlibatan komunitas adalah kunci. Bukan hanya karena mereka paling memahami persoalan di lapangan, tetapi juga agar catatan pelanggaran hak, stigma, dan diskriminasi benar-benar terdokumentasi.
“Kalau komunitas berani bicara, laporan mereka bisa diverifikasi dan diadvokasi. Dari situlah lahir solusi konkret,” ujarnya.
Lebih jauh, anyk menilai upaya mengikis stigma tak cukup hanya menyoroti diskriminasi struktural. Masyarakat luas didorong untuk mulai melepaskan bias dari diri sendiri-baik dalam bentuk sikap, bahasa, maupun perlakuan sehari-hari.
“Tidak menormalisasi ucapan atau perilaku yang membuat orang lain tidak nyaman adalah bentuk saling menghargai. Dari situ, lingkungan yang kondusif bisa terbangun,”pungkasnya.(WNA)