PALI, SUMSEL JARRAKPOS, —
Kebijakan pemerintah pusat terkait rencana pemangkasan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) atau Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) mulai menuai penolakan dari daerah. Salah satunya datang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), yang menilai kebijakan itu berpotensi menekan roda pelayanan publik dan membebani keuangan daerah.
“Sebagai wakil rakyat, kami akan terus mengawal dan memperjuangkan agar kepentingan daerah tetap menjadi prioritas,” ujar Wakil Ketua II DPRD PALI, Firdaus Hasbullah, kepada wartawan, Rabu (8/10/2025).
Firdaus menegaskan, kebijakan pemangkasan TKD yang diwacanakan pemerintah pusat harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi riil keuangan daerah dan kemampuan fiskal masing-masing pemerintah daerah.
Politikus Partai Demokrat itu menilai kebijakan tersebut bisa memukul sejumlah sektor vital, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
“Kalau TKD dipangkas, tentu semangat kerja ASN bisa menurun, pelayanan publik terganggu, dan target pembangunan daerah bisa tersendat,” katanya.
Menurut Firdaus, TKD selama ini menjadi salah satu komponen penting yang menjaga kinerja aparatur daerah, terutama di wilayah yang bergantung besar pada transfer dana pusat.
“Banyak pegawai kita yang bekerja di lapangan dengan dukungan insentif ini. Kalau dipotong, efeknya akan langsung terasa di tingkat pelayanan,” tegasnya.
Firdaus menjelaskan, kebijakan pemangkasan TKD datang di saat daerah sedang menghadapi tekanan fiskal berlapis.
Selain kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan sejak pertengahan tahun, pemerintah daerah juga tengah menanggung beban tambahan pembayaran gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Kita baru saja melaksanakan efisiensi anggaran dan pelantikan PPPK, di mana gaji mereka menjadi beban tambahan bagi daerah,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat ruang fiskal daerah semakin sempit, sementara kebutuhan pelayanan publik terus meningkat.
Melihat kondisi tersebut, DPRD PALI berencana berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mencari langkah strategis, termasuk menyusun rekomendasi resmi kepada Presiden Prabowo agar kebijakan pemangkasan TKD ditinjau ulang.
“Mudah-mudahan Bapak Presiden bisa menahan dulu pemangkasan atau pengurangan TKD ini,” kata Firdaus.
Ia menambahkan, koordinasi lintas daerah dan asosiasi DPRD se-Indonesia juga perlu dilakukan untuk menyuarakan keberatan atas kebijakan ini, terutama bagi daerah yang belum mandiri secara fiskal.
“Kalau pusat ingin efisiensi, daerah jangan jadi korban. Pemerataan pembangunan hanya bisa jalan kalau daerah juga diberi ruang napas fiskal,” tuturnya.
Kritik dari DPRD PALI ini mencerminkan ketegangan fiskal antara pusat dan daerah yang kembali mencuat setelah kebijakan efisiensi belanja aparatur diberlakukan.
Pemerintah pusat sebelumnya menyebut pemangkasan TKD sebagai bagian dari strategi pengendalian belanja pegawai nasional agar tidak melampaui ambang batas 30 persen dari total APBD.
Namun, sejumlah daerah menilai langkah itu tidak realistis, mengingat porsi belanja wajib dan pegawai sudah mendominasi struktur keuangan mereka.
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa mekanisme kompensasi, para pengamat menilai banyak daerah berpotensi menghadapi krisis kinerja birokrasi dan stagnasi pembangunan, terutama di wilayah dengan ketergantungan tinggi pada Dana Alokasi Umum (DAU).
Firdaus menutup dengan pesan bahwa daerah bukanlah beban, melainkan mitra pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas pelayanan publik.
“Kalau daerah dipukul dengan kebijakan sepihak, yang rugi bukan hanya ASN, tapi rakyat yang dilayani,” katanya. (*)