DaerahMuara Enim

Surat Silaturahmi Dibuang Ajudan, Bupati Muara Enim Diduga Pelihara Budaya Arogansi

74
×

Surat Silaturahmi Dibuang Ajudan, Bupati Muara Enim Diduga Pelihara Budaya Arogansi

Sebarkan artikel ini

MUARA ENIM, SUMSELJARRAKPOS – Sebuah insiden memalukan mencoreng wajah Pemerintah Kabupaten Muara Enim. Niat baik mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Muara Enim (HIMA) untuk bersilaturahmi dengan Bupati Muara Enim, Kamis (2/10) lalu, justru berakhir dengan dugaan penghinaan terang-terangan.

Surat resmi kunjungan HIMA, yang seharusnya menjadi pintu komunikasi antara generasi muda dan pemimpin daerah, dibuang begitu saja oleh seorang oknum yang diduga sebagai ajudan pribadi Bupati berinisial AA.

Peristiwa itu disaksikan langsung para mahasiswa setelah mereka menunggu lebih dari empat jam di halaman rumah dinas Bupati.

Bagi mahasiswa, kejadian ini bukan sekadar pelecehan, melainkan simbol arogansi kekuasaan yang dipelihara oleh lingkaran Bupati

Ketua Umum HIMA Muara Enim, Wahyoedien Abdoellah, menyampaikan kekecewaannya.

“Kami datang dengan itikad baik, membawa aspirasi mahasiswa untuk pembangunan daerah. Tapi apa yang kami terima? Surat resmi kami dibuang di garasi rumah dinas.

Itu bukan hanya pelecehan terhadap organisasi kami, tapi pelecehan terhadap rakyat yang punya hak bicara kepada pemimpinnya,” ujar Wahyoedien dalam keterangannya, pada Jumat (3/10/2025) malam.

Wahyoedien menegaskan, tindakan ajudan Bupati telah mencederai martabat komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

“Seorang pemimpin seharusnya terbuka, bukan memelihara tembok arogansi. Kalau ajudan pribadi saja berani bertindak sewenang-wenang, apakah itu cermin dari kultur kekuasaan yang ada di Muara Enim hari ini?” katanya lantang.

Insiden itu memicu gelombang kecaman dari berbagai kalangan. Aktivis mahasiswa hingga tokoh masyarakat menilai, sikap ajudan yang membuang surat resmi bukan sekadar kelalaian individu, tetapi menunjukkan adanya pola pikir kekuasaan yang menganggap remeh suara rakyat.

“Mahasiswa datang dengan prosedur resmi, menggunakan jalur konstitusional. Tapi justru diperlakukan seolah tak ada artinya.

Kalau pemerintah saja sudah menutup pintu bagi generasi muda, jangan salahkan jika kepercayaan publik runtuh,” kata seorang tokoh pemuda Muara Enim.

Bupati Tidak Bisa Diam

Desakan kini mengarah langsung kepada Bupati Muara Enim, Edison. Publik menilai sang Bupati  tidak bisa berlindung di balik alasan “ini hanya ulah ajudan.”

Ajudan bekerja atas nama Bupati, dan setiap tindakan ajudan adalah cermin sikap tuannya.

“Kalau Bupati diam, artinya ia menyetujui perlakuan arogan itu. Permintaan maaf terbuka dan evaluasi tegas wajib dilakukan. Jika tidak, publik akan menilai Bupati Edison sedang melindungi budaya arogansi dalam pemerintahannya,” ujar seorang pengamat kebijakan publik Sumsel.

Ujian Legitimasi Kekuasaan

Insiden ini menjadi ujian serius bagi legitimasi Edison sebagai Bupati. Kepercayaan rakyat tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi juga dari bagaimana pemimpin membuka ruang dialog dengan warganya.

Ketertutupan dan arogansi sekecil apa pun akan menjadi bara yang menggerogoti fondasi kepemimpinan. Muara Enim kini menunggu, apakah Edison berani bertindak sebagai negarawan yang meminta maaf dan memperbaiki sistem, atau membiarkan kasus ini menjadi bukti bahwa kekuasaan di kabupaten itu telah berubah menjadi tembok angkuh yang menolak suara rakyatnya sendiri. ***

Penulis: RilisEditor: Redaksi