Nasional

Solidaritas Pers Sumsel Bangkit: Dari Kepala Babi untuk Tempo, Hingga Ancaman ke Media Lokal

3
×

Solidaritas Pers Sumsel Bangkit: Dari Kepala Babi untuk Tempo, Hingga Ancaman ke Media Lokal

Sebarkan artikel ini

PALEMBANG, SUMSELJARRAKPOS – Ancaman terhadap kebebasan pers kembali menjadi sorotan setelah insiden pengiriman kepala babi, bunga mawar, dan bangkai tikus ke kantor Majalah Tempo.

Kejadian ini memicu gelombang solidaritas di kalangan jurnalis dan pemilik media di berbagai daerah, termasuk di Sumatera Selatan.

Pada Kamis (27/3/2025) malam, puluhan jurnalis, pemilik media, dan aktivis masyarakat sipil berkumpul di Remington Hostel and Café, Palembang.

Mereka menggelar diskusi terbatas bertajuk Mencatat Nasib Pers Indonesia Pasca Kepala Babi dan Tikus di Tempo.

Dari pertemuan yang diinisiasi Pimpinan KetikPos.com sekaligus Pimred Sumsel.JarrakPos.com, Muhamad Nasir ini, lahirlah Koalisi Pers dan Masyarakat Sipil Sumatera Selatan (KPMS Sumsel), sebuah gerakan yang bertujuan melindungi kebebasan pers dan mencegah intimidasi terhadap jurnalis.

Ancaman Pers Daerah Tak Kalah Mengerikan

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumsel, Jon Heri, mengungkap bahwa ancaman terhadap jurnalis bukan hanya terjadi pada media nasional seperti Tempo, tetapi juga dialami media lokal, meski sering tak terdengar.

“Saya sendiri pernah dikirimi kepala anjing ke rumah, hanya karena berita yang kami angkat tidak disukai pihak tertentu. Tapi karena kami media kecil, tidak ada yang membela.

Justru media besar malah ikut memberitakan hal yang menyudutkan kami. Ini yang membedakan kasus Tempo, di mana dukungan begitu luas,” ujarnya.

Fajar Wiko, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, menyoroti tren peningkatan kekerasan terhadap pers di Sumatera Selatan.

Menurutnya, tekanan terhadap media bisa datang dari berbagai arah, mulai dari penguasa, pemilik modal, hingga kelompok kepentingan tertentu.

“Banyak media lokal yang dipaksa menghapus berita karena tekanan. Ada yang ditekan melalui iklan dan advertorial, ada yang diancam langsung. Ini harus jadi perhatian semua pihak,” kata Fajar.

Pimpinan Redaksi Sumsel24.com, Fathoni, berbagi pengalamannya saat memberitakan sebuah spa yang masih beroperasi di bulan Ramadan.

“Setelah berita itu tayang, tekanan datang bertubi-tubi. Dari sesama wartawan, preman, hingga aparat. Ada yang datang langsung meminta berita dihapus, bahkan dengan ancaman,” katanya.

Intimidasi Pers: Antara Kepentingan dan Politik

Taufik Wijaya, tokoh pers Sumsel yang kini bekerja di Mongabay, menganalisis bahwa tekanan terhadap pers tak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik.

“Tempo punya rekam jejak mengungkap kasus besar. Jadi, pengiriman kepala babi ini bukan sekadar teror biasa. Bisa jadi ada kepentingan bisnis, pengelolaan sumber daya alam, atau pihak ketiga yang ingin mengadu domba,” katanya.

Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Sumsel, Agus Harizal Alwie Tjikmat, menegaskan bahwa ancaman terhadap jurnalis bukan hal baru.

“Saya pernah diancam akan disiram cuka para hanya karena memberitakan kasus korupsi. Jadi, yang dialami Tempo itu sebenarnya sudah sering terjadi pada media lain, hanya saja tidak selalu terekspos,” katanya.

Dorongan Investigasi dan Ketegasan Pemerintah

Dari perwakilan Tempo, Reza Hardiawan menyampaikan apresiasi atas dukungan yang diberikan oleh jurnalis di Sumsel.

“Saat ini Tempo juga sedang mencari tahu siapa yang berada di balik pengiriman paket tersebut. Kami berharap kasus ini diusut tuntas agar tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia,” ujar Reza.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sumsel, menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil sikap tegas untuk melindungi pers, terutama di awal pemerintahan yang baru.

“Peralihan dari pemerintahan sipil ke militer sering kali diikuti dengan kekhawatiran terhadap kebebasan pers. Jika pemerintah tidak segera bertindak, bisa jadi ini menjadi ancaman yang lebih besar di masa depan,” katanya.

Pers dan Masyarakat Harus Bersatu

Ali Goik dari Gandus TV mengingatkan bahwa kebebasan pers bukan hanya kepentingan jurnalis, tetapi juga masyarakat.

“Sejarah membuktikan bahwa pers dan aktivis selalu beriringan dalam memperjuangkan kebebasan. Kalau pers dibungkam, masyarakat juga yang akan kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi yang jujur,” katanya.

Kesepakatan utama dari pertemuan ini adalah perlunya perlawanan bersama terhadap intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis. KPMS Sumsel berencana mengeluarkan pernyataan sikap resmi serta melakukan langkah-langkah konkret untuk mendukung kebebasan pers, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kesimpulan: Jangan Diam, Pers Harus Melawan!

Ancaman terhadap Majalah Tempo telah membuka mata banyak pihak bahwa kekerasan terhadap pers masih menjadi ancaman nyata di Indonesia. Bagi media di daerah, intimidasi bukanlah hal baru. Namun, kasus Tempo memberi pelajaran penting: solidaritas bisa menjadi senjata ampuh untuk melawan ketidakadilan.

Dari Sumatera Selatan, pesan kuat disampaikan: Pers tidak boleh dibungkam!