OKI

PT Martimbang Jaya Utama Klarifikasi Isu Penutupan Akses: Kami Hanya Lindungi Aset dan Hak Legal Kami

2
×

PT Martimbang Jaya Utama Klarifikasi Isu Penutupan Akses: Kami Hanya Lindungi Aset dan Hak Legal Kami

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

OGAN KOMERING ILIR, SUMSEL JARRAKPOS, — PT Martimbang Jaya Utama (MJU) akhirnya angkat bicara menanggapi pemberitaan yang dinilai menyudutkan perusahaan terkait polemik penutupan akses jalan dan penggalian parit di wilayah Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Dalam pernyataan resmi, Direktur PT MJU, Nelly T Siregar, menyatakan bahwa tindakan penggalian parit gajah dilakukan di atas lahan milik sendiri dan merupakan bagian dari langkah perlindungan terhadap aset perusahaan.

“Kami ingin meluruskan. Parit gajah itu berada sepenuhnya di atas areal kebun milik keluarga Siregar, yang dikelola oleh manajemen PT Martimbang Jaya Utama. Tidak benar jika disebut kami menutup jalan milik umum atau merampas hak warga,” kata Nelly, dalam klarifikasinya kepada wartawan, Rabu (31/7).

Menurut Nelly, penggalian parit gajah memiliki dua tujuan utama: menandai batas lahan dengan tetangga dan menghentikan perusakan serta pencurian yang kian marak di wilayah kebun. Ia menuding seorang warga bernama Tambunan telah menggarap lahan perusahaan sekitar 25 hektare secara ilegal, menanam ubi, dan mengakses lahan menggunakan kendaraan berat yang melintasi jalan gawangan milik perusahaan.

Oplus_131072

“Jalan gawangan itu diperuntukkan hanya untuk operasional produksi kami. Kalau setiap hari dilewati roda empat dan roda enam, akar sawit bisa rusak. Aktivitas yang ramai oleh kelompok Tambunan ini membuat kerugian besar bagi kami,” jelasnya.

Selain aktivitas illegal farming, PT MJU juga menghadapi masalah pencurian hasil kebun dan masuknya ternak ke wilayah tanaman sawit, yang menurut Nelly, menjadi latar belakang utama penguatan sistem parit.

“Kami bahkan punya barang bukti pencurian di kebun. Maka penggalian ini bentuk antisipasi, bukan intimidasi,” tambahnya.

Nelly menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah menutup total akses jalan untuk masyarakat yang memiliki kebun di belakang area milik perusahaan. Ia bahkan menyebut ada satu jalur alternatif yang disediakan sejak 2006 dan masih digunakan hingga hari ini.

“Warga tetap bisa lewat, khususnya menggunakan kendaraan roda dua. Kami juga fasilitasi bongkar muat hasil bumi mereka. Ada jalan koleksi (collection route) yang bisa mereka gunakan untuk memindahkan hasil panen. Justru warga selama ini berterima kasih,” ujarnya.

Ia mengakui, salah satu pemilik kebun bernama Yoyon secara sukarela mengizinkan masyarakat lewat lahannya, yang kemudian terkoneksi ke jalur gawangan perusahaan. “Tapi gawangan itu bukan jalan umum. Untuk roda enam, kami keberatan. Itu sudah disampaikan kepada kepala desa dan perangkat desa lainnya melalui surat pemberitahuan,” imbuhnya.

Nelly juga menanggapi aksi unjuk rasa yang dimotori LSM LIBRA dan kelompok warga yang disebut sebagai “masyarakat terdampak”. Menurutnya, klaim bahwa ada ratusan warga yang terganggu oleh penutupan akses adalah informasi yang menyesatkan.

“Tidak benar ada ratusan hektare milik masyarakat di situ. Kami kenal baik siapa saja masyarakat yang benar-benar berkebun di belakang area kami, karena selama ini kami yang membantu mereka. Angka-angka yang diklaim saat demo itu mengada-ada,” ujarnya tegas.

Ia juga menilai bahwa gerakan tersebut ditunggangi oleh motif pribadi. “Pak Tambunan yang justru mencaplok lahan kami. Tapi dia menggiring opini seolah dirinya mewakili masyarakat luas,” tambah Nelly.

Nelly menegaskan bahwa status lahan tempat parit gajah berada sudah jelas secara hukum. Bahkan, ia menyebut sudah ada berita acara dari pemerintah kecamatan dan aparat Tripika yang mengonfirmasi bahwa tanah tersebut memang milik keluarga Siregar.

“Kami ikuti semua proses mediasi. Kami juga terbuka jika masyarakat ingin membangun akses jalan lain yang lebih layak dan tidak mengganggu kebun kami. Tapi jangan memaksa kami untuk merelakan lahan yang secara legal adalah milik kami,” katanya.

Menutup klarifikasinya, Nelly berharap Pemerintah Kabupaten OKI dan instansi terkait bersikap tegas dan adil dalam menyikapi konflik ini. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum bagi dunia usaha, terutama di sektor perkebunan yang rentan terhadap konflik agraria.

“Kami tidak anti terhadap masyarakat. Justru kami ingin menjaga hubungan baik. Tapi jangan biarkan klaim sepihak dan tindakan ilegal berkembang tanpa batas. Ini soal keadilan, bukan soal kekuasaan,” pungkas Nelly.(WNA)