PALEMBANG, SUMSEL JARRAKPOS, – Polemik penghapusan dan penghancuran Pasar Cinde, sebuah cagar budaya bersejarah di jantung Kota Palembang, kian mencuat ke permukaan. Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI) Sumsel, Ir. Feri Kurniawan, menilai masih banyak titik gelap yang belum terungkap dalam kasus ini.
“Pasar Cinde bukan sekadar bangunan tua, tapi warisan sejarah. Ketika negara menghapusnya dari daftar aset tanpa transparansi, maka publik berhak bertanya: ada apa di balik semua ini?” tegas Feri.
Yang paling krusial, menurutnya, adalah proses politik di balik Rapat Paripurna DPRD Sumsel yang menyetujui penghapusan aset negara berupa Pasar Cinde melalui skema Build, Operate, Transfer (BOT). Tanpa persetujuan DPRD, mustahil penggusuran dan pembumihangusan pasar itu terjadi.
Tak kalah mencurigakan, perubahan status lahan dari Hak Pakai milik Pemprov Sumsel menjadi Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT Magna Beatum Aldiron. Proses yang dilakukan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palembang ini perlu diaudit: apakah sesuai prosedur atau ada permainan di balik layar?
“Pajak yang dibayarkan dalam transaksi ini juga harus ditelusuri. Nilai jual objek pajak (NJOP) yang digunakan, apakah Jalan Jenderal Sudirman atau hanya bagian belakang pasar, sangat menentukan potensi kebocoran PAD Kota Palembang yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah,” ungkap Feri.
Lebih jauh, publik juga patut mempertanyakan apakah proyek BOT ini benar-benar melalui proses lelang terbuka. Sebab jika tidak, maka ada indikasi pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli.
Feri menambahkan, nasib pedagang yang telah menyetor Down Payment (DP) ke PT Magna Beatum Aldiron juga belum jelas. Uang mereka belum kembali, namun pemerintah terkesan diam.
“Di mana negara ketika rakyatnya ditelantarkan? Di mana kehadiran hukum ketika uang rakyat digantung tanpa kejelasan?” kata Feri.
Feri juga menyoroti peran Dinas Perkim Sumsel yang menggunakan dana APBD untuk membuat Detail Engineering Design (DED) proyek Pasar Cinde setelah disetujui BOT. “Siapa yang akan bertanggung jawab atas dana rakyat yang digunakan itu jika proyeknya bermasalah?”
Ia menegaskan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel memikul pekerjaan rumah besar yang belum tuntas. Mulai dari kasus Pasar Cinde, RUPSLB Bank Sumsel Babel, hingga persoalan PT SAI dan lainnya. “Sudah saatnya Kejati tidak tebang pilih. Rakyat menunggu keadilan ditegakkan,” pungkasnya. (Rillis)