Berita

Palembang di Ambang Banjir Besar: Hanya 51 dari 150 Kolam Retensi, K-MAKI Soroti Mafia Tanah dan Salah Tata Ruang

2
×

Palembang di Ambang Banjir Besar: Hanya 51 dari 150 Kolam Retensi, K-MAKI Soroti Mafia Tanah dan Salah Tata Ruang

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

PALEMBANG, SUMSEL  JARRAKPOS, –  Ancaman banjir besar kini membayangi Kota Palembang. Dari total kebutuhan 150 kolam retensi untuk menampung limpahan air hujan, tercatat baru 51 kolam yang tersedia. Kondisi ini menempatkan Palembang dalam status siaga bencana genangan permanen, terutama di kawasan padat penduduk seperti Sukarami, Alang-Alang Lebar, dan Seberang Ulu.

Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII, kapasitas tampung kolam retensi di Palembang saat ini hanya mampu menahan sekitar 40 persen curah hujan yang turun. Artinya, 60 persen air hujan tidak terserap dan berpotensi menggenangi kawasan perkotaan.

Situasi kian rumit setelah proyek kolam retensi Simpang Bandara, yang direncanakan menjadi salah satu penampung terbesar di wilayah barat kota, gagal direalisasikan. Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI) Sumatera Selatan menuding ada praktik mafia tanah yang berkolaborasi dengan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palembang, hingga proyek strategis itu terhenti di meja administrasi.

“Perhitungan BBWSS VIII terhadap kapasitas tampung kolam retensi Kota Palembang yang hanya mampu menampung 40 persen air hujan sangat mengkhawatirkan,” ujar Deputy K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan, kepada wartawan, Rabu (15/10).

“Banyak daerah tangkapan air atau catchment area yang sudah ditimbun dan berubah menjadi kawasan perumahan dan gudang industri. Ini pelanggaran tata ruang yang sudah berlangsung lama,” tambahnya.

Feri menegaskan, selain masalah minimnya kolam retensi, alih fungsi sepadan sungai juga menjadi bom waktu bagi bencana banjir di ibu kota Sumatera Selatan itu. Ia mencontohkan, sepadan Sungai Bayas kawasan Veteran kini banyak dikuasai pihak swasta untuk mendirikan bangunan liar, pergudangan, dan kompleks usaha.

“Kawasan sempadan sungai seharusnya menjadi zona lindung air dan daerah serapan, bukan di kapling menjadi aset bisnis. Pemerintah kota dan aparat terkait tampak tutup mata,” katanya.

Masalah lain muncul dari proyek IPAL Terpadu bantuan Pemerintah Australia, yang juga membutuhkan area tampungan air limbah hasil olahan. Namun, karena minimnya ruang resapan alami, kinerja IPAL ini dikhawatirkan terganggu saat musim hujan.

Feri mendesak Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel untuk segera melakukan inventarisasi ulang terhadap seluruh saluran drainase, catchment area, dan kolam retensi yang ada. Ia menilai langkah ini penting sebagai dasar pembaruan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang.

“Bahkan rencana pembangunan perkantoran terpadu di kramasan sudah mengubah struktur tata ruang wilayah setempat. Ini harus dikaji ulang karena tumpang tindih dengan kawasan serapan air,” tegas Feri.

K-MAKI menilai persoalan banjir di Palembang bukan hanya soal alam atau curah hujan, tetapi lebih pada manajemen tata ruang yang lemah, ketidakpatuhan terhadap aturan, dan potensi korupsi dalam proyek infrastruktur lingkungan.

Jika 100 kolam retensi tambahan tidak segera dibangun, Palembang berisiko menghadapi banjir besar setiap musim penghujan, terutama dengan curah hujan ekstrem yang terus meningkat akibat perubahan iklim.

“Kita sedang melihat kota yang tumbuh di atas fondasi pelanggaran tata ruang. Dan air akan menagih semua kesalahan itu,” tutup Feri. (*)