JAKARTA, SUMSEL, JARRAKPOS, — Sepuluh bulan lebih menjabat, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Yusron, dinilai gagal mereformasi kinerja BPN di daerah. Alih-alih menghadirkan gebrakan strategis, kinerja kementerian yang bersentuhan langsung dengan kepastian hukum tanah rakyat justru mandek dan membuka ruang subur bagi praktik mafia tanah.
Program unggulan yang sempat dijanjikan—mulai dari digitalisasi layanan, percepatan sertifikasi tanah, hingga penyederhanaan birokrasi—terkesan hanya berhenti di tataran wacana. “Tidak ada gebrakan nyata. Publik menunggu kepastian, tapi yang terjadi justru stagnasi,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, saat dihubungi, Kamis (18/9).
Mutasi Sarat Masalah
Sumber internal BPN menyebut, akar dari mandeknya reformasi agraria terletak pada carut-marut sistem mutasi dan promosi pegawai sepanjang 2025. Alih-alih berbasis merit dan kinerja, rotasi jabatan terkesan dijalankan dengan motif seremonial bahkan diduga sarat praktik pungli.
Salah satu contoh mencolok muncul dari Kantor Wilayah BPN Sumatera Selatan. Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) di wilayah itu tercatat telah menjabat lebih dari enam tahun tanpa rotasi atau evaluasi berkala. Padahal, PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS secara tegas mengatur batasan dan pola rotasi jabatan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Jalur Karier Tersumbat
Posisi Kabag TU memiliki peran krusial dalam usulan mutasi dan promosi pegawai di Kanwil. Dengan jabatan yang terlalu lama melekat, posisi itu justru berpotensi mengendalikan jalur karier ASN lain. Imbasnya, banyak pegawai kehilangan kesempatan naik jabatan karena sistem yang tidak sehat.
“Ini sudah melanggar prinsip meritokrasi ASN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014. Ketika satu orang menguasai sistem terlalu lama, maka feodalisme birokrasi akan tumbuh,” kata pengamat kebijakan publik dari UGM, Agus Pramusinto.
Selain merusak moral birokrasi, stagnasi jabatan ini juga membuka celah praktik penyalahgunaan kewenangan—dari transaksi jabatan, intervensi promosi, hingga potensi pengkondisian layanan pertanahan.
Publik Bayar Mahal
Akibat dari tata kelola yang kacau ini, publik yang membutuhkan kepastian hukum tanah justru menjadi korban. Alih-alih mudah, layanan BPN di banyak daerah kerap dipersulit. Situasi ini membuka ruang bagi perantara atau calo tanah, bahkan memperkokoh ekosistem mafia tanah.
“BPN seharusnya menjadi garda terdepan melindungi hak tanah rakyat, bukan malah menjadi ladang empuk praktik rente,” ujar Boyamin.(*)