PALEMBANG, SUMSEL JARRAKPOS, – Kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan kolam retensi Simpang Bandara Palembang semakin menguatkan indikasi adanya permainan mafia tanah yang diduga melibatkan oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palembang.
Perkara ini berkaitan dengan penyerobotan tanah negara berupa rawa konservasi dengan potensi kerugian negara mencapai Rp39,8 miliar.
Deputy Kordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K MAKI), Feri Kurniawan, menegaskan bahwa hanya Kementerian ATR/BPN yang memiliki kewenangan menentukan status tanah—apakah milik negara atau masyarakat—berdasarkan peta pertanahan yang sah secara hukum.
“Adalah kelalaian semua pihak bila ternyata lahan atau tanah negara diganti rugi atas nama masyarakat,” tegas Feri Kurniawan, Rabu (8/10).
Menurutnya, dalam proses negosiasi ganti rugi rencana pembangunan kolam retensi Simpang Bandara, turut hadir berbagai pihak seperti Kepala Inspektorat, Camat Sukarami, Lurah Kebun Bunga, BPKAD Kota Palembang, Notaris, Jaksa Pengacara Negara (JPN)/Datun, dan Tim Dinas PUPR.
Namun, Feri menyayangkan karena semua pihak tersebut diduga tidak melakukan verifikasi lapangan terhadap status lahan yang diganti rugi.
“Bisa-bisanya semua yang hadir dalam rapat pengadaan lahan tidak mendeteksi kalau rawa seluas empat hektare tersebut adalah tanah negara. Apakah mereka tidak pernah meninjau lokasi dan hanya mendengar laporan saja?” ujar Feri dengan nada kritis.
Lebih lanjut, Feri menjelaskan bahwa dokumen penting yang seharusnya menjadi dasar analisis—seperti dokumen FS, LARAP, penilaian KJPP, NJOP dari Bapenda, harga zona BPN, sertifikat tanah, pendampingan Datun Kejari, akta notaris, serta RTRW Kecamatan Sukarami sesuai Perda No. 15 Tahun 2012 dan Permen ATR No. 4 Tahun 2024—tidak diteliti secara cermat oleh pihak terkait.
Ia menegaskan bahwa kunci utama dari perkara ini terletak pada pengukuran dan pemetaan tanah oleh kantor BPN Kota Palembang, serta penerbitan sertifikat PTSL yang menjadi dasar pembayaran ganti rugi.
“Kalau terjadi pemindahan lokasi, semestinya BPN menolak pengukuran dan tidak menerbitkan sertifikat. Jadi, kata kuncinya ada pada peta dan SK sertifikat yang diterbitkan BPN,” pungkas Feri Kurniawan. (*)