PALEMBANG SUMSEL JARRAKPOS, — Malam di Lawang Borotan tak seperti biasanya. Situs heritage yang sarat sejarah itu berubah menjadi panggung kata-kata, di mana bait-bait puisi mengalir, menggema, dan menggetarkan jiwa. Meski Hari Puisi Nasional sejatinya jatuh pada 28 April, perayaannya di Palembang baru terlaksana pada Jumat malam (16/5), menyuguhkan kolaborasi seni dan sastra dalam balutan budaya.
Digagas oleh Dewan Kesenian Palembang (DKP) dan didukung berbagai pihak, acara ini mengusung semangat “Puisi untuk Semua, Sastra untuk Jiwa.” Tak kurang dari 30 lebih pembaca puisi tampil menyuarakan kegelisahan, harapan, cinta, dan kritik sosial melalui lirik-lirik penuh makna.
Ketua Panitia, Slamet Nugroho, menyebut Lawang Borotan dipilih bukan tanpa alasan. “Kami ingin puisi tidak hanya terdengar, tapi juga terasa. Dan tempat ini—dengan jejak-jejak sejarahnya—memberi ruang spiritual yang magis bagi kata-kata,” ujarnya.
Ketua DKP, M. Nasir, membuka malam puisi dengan sambutan hangat dan pantun bernas yang membuat hadirin berdecak kagum:
Kuku merah meranum oleh kembang pacar
Indah melentik bikin hati bergetar
Lawang Borotan malam ini menggelegar
Pecah oleh senandung puisi Chairil Anwar
Tak hanya pantun, Nasir menegaskan bahwa puisi adalah medium paling jujur untuk menyampaikan denyut kehidupan. “Puisi tak butuh istana. Ia bisa lahir di gang sempit, di hati rakyat kecil, atau di balik meja birokrasi,” katanya.
M.S. Iqbal Rudianto, Ketua DKSS, menambahkan bahwa hadirnya pelajar, pejabat, seniman, hingga selebgram dalam acara ini menunjukkan bahwa puisi masih punya tempat di ruang publik. “Puisi bukan hanya milik penyair, ia milik siapa pun yang ingin jujur pada pikirannya dan lembut pada rasanya,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang, Sulaiman Amin, dan Kepala Dinas Perpustakaan Provinsi Sumsel, Muhammad Zaki Aslam, S.IP., M.Si., menyambut baik penyelenggaraan puisi di ruang publik, khususnya destinasi wisata. Zaki bahkan tampil membacakan puisi dengan keyakinan bahwa “masyarakat masih rindu akan kalimat-kalimat puitis yang menyentuh nurani.”
Sorotan malam juga tertuju pada selebgram Indah Ariani Mujaer, yang membawakan dua puisinya: Salam untuk Pak Presiden dan Lawang Borotan. Suaranya menembus udara malam, membuktikan bahwa media sosial dan sastra bukan dua dunia yang saling menjauh, melainkan bisa saling merangkul.
Deretan Pembaca Puisi:
Malam itu, para pembaca puisi tampil dengan keberagaman usia, profesi, dan latar:
Sella Devita – SMP PGRI
Sevilla Putri Davia – SMPN 1 Palembang
Muhammad Zaki Aslam – Kadis Perpustakaan Sumsel
Stefani Sitorus – Putri Anak Indonesia
Key Ghifari – Putri Anak Indonesia Pariwisata 2024
Alianda Permata Sari – SMPN 17 Palembang
Viola – SMPN 2 Palembang
Revalina Khanza – SMPIT Harapan Mulya
Ayu Safira – SMPN 13
Abel & Aqil – Bujang Gadis Palembang
Larifa – Putra Putri Sumsel 2024
Silva Prajawati – Dinas PUPR Kota Palembang
Ery Ahmad Fadillah – Putra Putri Sumsel 2024
Clianta Keyza Pebrian – SMPN 43 Palembang
Almira Tiara Khirani – SMP Islam Azzahra 1
Kalinka Syeren – Finalis Putri Anak
Diarita Ramadani – Universitas Muhammadiyah Ahmad Dahlan
Heri Mastari – Dewan Kesenian Palembang
Anton Narasoma – Penyair
Anwar Putra Bayu – Sastrawan
Toton Da’i Permana – Budayawan
Fir Azwar – Kepala SMAN 6 Palembang, seniman multitalenta
M.S. Iqbal Rudianto – Ketua DKSS
Nyimas Nazariah – Dinas Perpustakaan Sumsel
Putri Salimah – Miss Youth Sumatera Selatan
Putrii Mifta Qhuljannah – Mahasiswa Polsri
Sulaiman Amin – Kadis Pariwisata Palembang
Jaid Saidi alias Mang Jai – Penyair senior
Iqbal J. Permana – Penyair, pensiunan perbankan
Kolaborasi seni yang dipimpin Hasan (teater), Caca (musik), dan Mas Inug (sastra)
Di ujung malam, Lawang Borotan menjadi saksi bahwa puisi masih hidup. Tak sekadar dibaca, tapi dirasakan. Ia tidak lekang oleh zaman, sebab selama manusia masih punya rasa, puisi akan selalu punya ruang. (*)