PTBA

Kisah Jumputan Karya Mitra Binaan Bukit Asam (PTBA): Melanglang Buana Sampai Amerika

1

MUARA ENIM, SUMSELJARRAKPOS – Sebuah pesan singkat masuk ke aplikasi WhatsApp Yuniarta Nensy, pemilik usaha jumputan Rumah Daun, pada Kamis (30/1/2025). Pengirimnya seorang pejabat di instansi pemerintahan yang sedang menempuh pendidikan S2 di Cornell University, New York, Amerika Serikat (AS).

Yuni, demikian perempuan ini biasa disapa, menuturkan bahwa dia menerima order jumputan dari si pengirim pesan beberapa waktu sebelumnya. Jumputan adalah wastra khas Sumatera Selatan (Sumsel) dengan pola unik yang disebut Titik Tujuh.

Pejabat instansi pemerintahan tersebut memesan jumputan untuk diberikan kepada dosen pengujinya di Cornell University sebagai kenang-kenangan. Senyum tersimpul di wajah Yuni saat melihat foto kain jumputan karyanya jadi cinderamata di AS.

“Lihat nih, kain jumputan saya sampai di Amerika. Ada yang bawa ke Cornell University. Kebetulan dia baru lulus S2, dikasih ke dosennya buat cinderamata,” tuturnya.

Hal itu bukan kali pertama, sebelumnya jumputan karya Yuni juga sudah pernah sampai ke San Fransisco. Kala seorang temannya membantu menjual jumputan di Bali kemudian salah satu pembelinya adalah turis asal AS. Saat pulang ke AS, turis tersebut berfoto di Jembatan San Fransisco sambil mengenakan syal dari jumputan.

“Ada yang dijual teman di Bali, dibeli turis-turis, dijadikan syal. Dibawa ke San Fransisco, terus foto di jembatan San Fransisco. Jumputan saya melanglang buana,” ucap Yuni.

Hasil karya Yuni punya ciri khas, berbeda dari jumputan lainnya. Motifnya bergradasi, menyerupai matahari yang bersinar. Tapi menurut pengakuan Yuni, motif yang seolah bercahaya itu sebetulnya ditemukan secara tidak sengaja.

“Saya bisa menemukan motif seperti itu sebetulnya kecelakaan. Harusnya saat masih agak basah dibuka, namun waktu itu setelah kain sudah kering baru dibuka. Hal ini yang membuat motif saya jadi beda dengan orang. Sekarang malah jadi ciri khas karya saya,” ucapnya.

Usaha jumputan dengan merek Rumah Daun ditekuni Yuni sejak 2022. Sebelumnya dia membuat kain eco print. Tapi kurang laris. Di berbagai pameran, Yuni memperhatikan bahwa ternyata wastra lokal lebih diminati. Karena itu, dia mencoba membuat kain jumputan khas Sumsel.

Tak mudah membuat kain jumputan, prosesnya panjang. Mulai dari mencari kain yang cocok, menggambar motif, menjahit ikatan, persiapan pencelupan, pembuatan pewarna, hingga pencelupan.

Pada masa awal memproduksi jumputan, Yuni hanya dibantu oleh kedua anaknya. Kain jumputan yang diproduksi berukuran 3 kali 1,5 meter. Harganya antara Rp 600-700 ribu. Sejak awal, Yuni menggunakan pewarna alami dari daun ketapang.

“Kain warna alam itu enggak bisa konsisten warnanya. Itu lah uniknya jumputan. Warnanya tiap kain pasti beda. Motif khasnya titik tujuh,” ujar Yuni.

Rumah Daun mulai berkembang setelah menjadi mitra binaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) pada pertengahan 2022. Berbagai dukungan diberikan PTBA. Mulai dari PUMK (pendanaan usaha mikro kecil) untuk modal usaha, pembelian bahan baku, pelatihan, pemasaran, hingga promosi melalui pameran-pameran. “Awal saya usaha sampai sekarang, dibantu Bukit Asam supaya roda perekonomian kami berputar,” tuturnya.

Jumputan produksi Rumah Daun kini semakin dikenal. Pemesanan pun berdatangan hingga Yuni harus menambah pekerja. Dari awalnya hanya dibantu kedua anaknya, kini dia mempekerjakan 10 orang untuk membantu mengumpulkan daun yang menjadi bahan baku pewarna alami, administrasi, dan menjahit. Selain itu, Yuni juga bekerja sama dengan dua kelompok ibu rumah tangga untuk membuat ikatan motif.

“Waktu 2022, saya hanya dibantu dua anak perempuan saya. Dulu belum ada penjahit. Sekarang permintaan banyak, jadi saya kolaborasi dengan teman-teman. Kalau ada pesanan souvenir premium dalam jumlah besar, tentu saya tidak bisa mengerjakannya sendirian untuk itu saya mengajak kerja sama teman-teman,” ucapnya.

Kebetulan anak tertua Yuni memiliki keahlian menggambar, sehingga bisa membantu menggambar motif. Sedangkan anak keduanya yang merupakan mahasiswi program studi Bahasa Inggris membantu dalam hal promosi produk.

“Anak pertama saya membantu gambar, menyelup kain dan administrasi juga. Kebetulan anak kedua saya kuliah jurusan bahasa Inggris dan mahir presentasi. Dengan bantuan anak kedua saya, kita bisa presentasikan produk dengan bahasa asing saat acara di instansi pemerintahan,” Yuni mengungkapkan.

Saat ini penjualan kain jumputan Rumah Daun sudah sangat tinggi. Dari awalnya hanya sekitar Rp 700 ribu per bulan pada 2022, sekarang mencapai kisaran Rp 15-20 juta per bulan. “Dulu waktu baru pertama-tama memasarkan yang hanya berupa kain, omzet yang diterima paling Rp 600-700 ribu sebulan. Sekarang kain jumputan, saya buat jadi baju, rompi dan berbagai produk sehingga permintaan pelanggan untuk produk-produk saya jadi meningkat,” paparnya.

Yuni terus berinovasi. Tak hanya menjual kain, dia juga menjual jumputan yang telah dijahit menjadi baju, rompi, tas, dompet, dan sebagainya. Dia terus mencari bahan-bahan pewarna alami yang baru. Pewarnaan kain disempurnakan melalui berbagai percobaan. Motif-motif dari kain jumputan ini juga diperkaya.

“Ke depan saya mau membuat motif-motif baru seperti bunga pedada, ini merupakan motif khas Palembang. Termasuk juga ikon-ikon Sumsel seperti Jembatan Ampera, Pulau Kemaro. Tidak hanya mencari motif baru, pewarnaan kain juga penting, untuk itu kita harus terus berinovasi, menghasilkan warna baru. Tantangan kita adalah untuk mencari pewarnaan alam. Selain membuat kain, saya juga berniat membuat home decor,” Yuni mengungkapkan.

Ke depan, Yuni berencana memberdayakan kaum difabel untuk membantu pembuatan jumputan. “Kami akan melakukan kerja sama, mengangkat teman-teman kaum difabel yang belum punya pekerjaan, saya ada rencana merekrut mereka,” ujarnya.

Harapannya, Rumah Daun dapat semakin berkembang dan jumputan karyanya dapat terus melanglang buana dikenal masyarakat luas. “Saya kelahiran Palembang, ada kebanggaan pribadi untuk mengangkat wastra lokal. Saya merasa bangga dengan jumputan,” tegasnya

Exit mobile version