Palembang

Jejak Lahan Simpang Bandara: Dari Data PINFORMASI BPN hingga Dugaan Kerugian Rp39,8 Miliar

17
×

Jejak Lahan Simpang Bandara: Dari Data PINFORMASI BPN hingga Dugaan Kerugian Rp39,8 Miliar

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

 

PALEMBANG, SUMSEL JARRAKPOS, –
Sebuah lahan di kawasan Simpang Bandara Palembang kini menjadi sorotan publik. Proyek pembangunan kolam retensi yang digadang untuk menekan banjir di wilayah strategis itu justru meninggalkan jejak tanda tanya soal keabsahan data tanah dan dugaan kerugian negara yang mencapai puluhan miliar rupiah.

Bermula dari data sistem aplikasi PINFORMASI milik Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palembang, yang menjadi acuan dasar Pemkot Palembang dalam menentukan nilai ganti rugi lahan. Melalui surat informasi nilai tanah No. 9564/12/2020, Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kota Palembang, berinisial HM, menyampaikan bahwa tanah dengan sertifikat hak milik atas nama MS memiliki nilai zona rata-rata Rp3.775.000 per meter persegi.

Artinya, jika dihitung berdasarkan luas tanah 40.000 meter persegi, nilai totalnya bisa mencapai Rp151 miliar.

Namun, dalam praktiknya, angka itu justru menjadi sumber perdebatan besar.

Pemkot Palembang kemudian menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Henricus Judi Andrianto untuk memberikan opini harga atas lahan bersertifikat No. 4737 atas nama MS. Dalam laporannya, KJPP memberikan estimasi nilai tanah sebesar Rp112,9 miliar — mencakup luas 40.000 meter persegi dan sudah termasuk kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta biaya lain-lain.

Namun nilai itu jauh di atas hasil negosiasi yang dilakukan Tim Pengadaan Tanah Pemkot Palembang. Setelah dua kali pertemuan, negosiasi antara tim dan pemilik lahan akhirnya bersepakat pada harga Rp995.000 per meter persegi — atau sekitar Rp39,8 miliar secara keseluruhan.

Nominal ini pun yang kemudian dibayarkan kepada pemilik lahan MS, menggunakan dana gabungan antara APBD Kota Palembang sebesar Rp,19,8 miliar dan hibah dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp, 20 miliar.

Namun belakangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumsel mengeluarkan opini yang mengejutkan. Atas permintaan penyidik Polda Sumatera Selatan, BPKP menyatakan bahwa transaksi ganti rugi lahan itu mengandung potensi kerugian negara sebesar Rp, 39,8 miliar — atau setara dengan seluruh nilai pembayaran.

Dalam laporannya, BPKP menyebut bahwa ganti rugi tersebut termasuk dalam kategori “total lost”, alias tidak sah secara administratif dan hukum pertanahan. Artinya, dana yang telah dikeluarkan dari kas negara dinilai tidak memiliki dasar hak yang valid.

Pertanyaan publik kini mengarah ke sumber data yang digunakan sejak awal — sistem PINFORMASI BPN Kota Palembang.

Apakah benar sertifikat No. 4737 atas nama MS telah terdaftar sah dalam sistem itu?
Jika benar, kapan sertifikat tersebut diterbitkan, siapa pemohonnya, dan bagaimana proses pengukurannya hingga akhirnya diterbitkan?

Publik juga menyoroti peran pejabat di BPN Kota Palembang yang memberikan informasi kepemilikan tanah dan nilai zona melalui PINFORMASI. Jika data tersebut dijadikan acuan resmi Pemkot untuk ganti rugi, maka validitas dan legalitas sertifikat menjadi faktor kunci yang menentukan sah atau tidaknya penggunaan dana publik senilai miliaran rupiah itu.

Hingga kini, baik BPN Kota Palembang maupun Pemkot Palembang belum memberikan penjelasan resmi terkait keabsahan sertifikat tersebut.
Sementara itu, tim penyidik dari Polda Sumsel disebut telah memanggil sejumlah pihak, termasuk pejabat BPN, perwakilan KJPP, serta panitia pengadaan tanah Pemkot. (*)