PALEMBANG, SUMSELJARRAKPOS- Dalam dinamika penyelesaian sengketa perdata, terutama yang menyangkut tanah dan aset bernilai tinggi, terdapat satu mekanisme hukum penting yang masih belum dikenal luas oleh masyarakat, yakni derden verzet atau perlawanan pihak ketiga.
Padahal, mekanisme ini bisa menjadi penyelamat bagi pihak luar perkara yang dirugikan oleh putusan pengadilan.
Hal ini disampaikan oleh advokat Muhamad Khoiry Lizani, S.H. Ia mengatakan, derden verzet merupakan instrumen hukum luar biasa yang memungkinkan seseorang yang bukan pihak dalam suatu perkara untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, apabila putusan tersebut merugikan haknya.
“Ini penting sekali diketahui masyarakat. Banyak kasus di mana aset milik seseorang, misalnya tanah, ikut dieksekusi karena putusan perkara yang tidak pernah melibatkan mereka.
Padahal mereka tidak tahu menahu dan tidak pernah dipanggil ke pengadilan,” ujar Lizan dalam keterangan tertulisnya, pada Sabtu (03/05/25).
Diatur dalam Hukum Acara Perdata
Derden verzet diatur dalam Pasal 378 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 435 RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten).
Menurut Lizan, ketentuan ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh suatu putusan untuk mengajukan keberatan secara resmi melalui jalur peradilan.
Sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung juga memperkuat eksistensi dan batasan mekanisme ini. Salah satunya adalah Putusan MA Nomor 2873 K/Pdt/1983, yang menegaskan bahwa pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan selama ia bisa membuktikan bahwa objek sengketa adalah miliknya yang sah.
Dalam Putusan MA No. 129 PK/Pdt/1998, ditegaskan bahwa perlawanan pihak ketiga harus disertai dengan bukti kepemilikan sebelum eksekusi dilakukan. Sedangkan Putusan MA No. 1029 K/Pdt/2002 menyatakan bahwa perlawanan yang diajukan setelah eksekusi selesai tidak akan diterima.
“Artinya, warga yang merasa memiliki hak atas tanah atau barang yang hendak dieksekusi, harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat,” ujarnya.
Rawan Terjadi dalam Perkara Verstek
Lizan menyebut, perlawanan pihak ketiga umumnya muncul dalam perkara verstek, yakni putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat.
Situasi ini berpotensi memunculkan kerugian bagi pihak lain di luar perkara yang tidak mengetahui jalannya proses hukum.
“Misalnya, A menggugat B atas sebidang tanah. B tidak hadir, lalu hakim menjatuhkan putusan verstek. Setelah inkracht, A eksekusi tanah tersebut, padahal tanah itu milik C yang sama sekali tidak tahu ada sengketa. Ini sangat berbahaya dan bisa menimbulkan ketidakadilan,” jelasnya.
Menurutnya, dalam situasi seperti ini, derden verzet bisa menjadi jalan keluar bagi pihak ketiga seperti C untuk mempertahankan haknya secara hukum.
Pentingnya Prinsip Due Process of Law
Lizan juga menekankan bahwa setiap tindakan hukum, terutama pelaksanaan putusan pengadilan, harus menjunjung tinggi asas due process of law, yaitu prinsip hukum yang menjamin hak setiap orang untuk didengar dan membela diri sebelum dikenai sanksi atau tindakan.
“Kalau orang tidak diberi kesempatan untuk bicara, lalu tiba-tiba hartanya dieksekusi karena putusan yang tidak melibatkannya, itu jelas pelanggaran prinsip keadilan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, prinsip audi et alteram partem bahwa setiap pihak berhak untuk didengar harus selalu dijaga dalam setiap tahapan hukum, termasuk saat menjalankan putusan pengadilan.
Imbauan untuk Masyarakat
Sebagai praktisi hukum, Lizan mengimbau masyarakat agar tidak ragu mencari pendampingan hukum jika merasa dirugikan oleh proses hukum yang tidak melibatkan mereka. Ia mendorong warga untuk segera bertindak ketika mengetahui bahwa aset milik mereka berpotensi dieksekusi.
“Jangan diam. Jangan takut. Segera cari bantuan hukum dan pelajari apakah Anda bisa menggunakan mekanisme derden verzet. Ini adalah hak sah Anda menurut hukum,” katanya
Di tengah meningkatnya konflik pertanahan dan maraknya putusan pengadilan yang berisiko merugikan pihak ketiga, Lizan berharap pemerintah dan lembaga peradilan lebih aktif menyosialisasikan instrumen hukum ini kepada masyarakat.
“Derden verzet bisa menjadi jembatan terakhir untuk keadilan bagi mereka yang terpinggirkan oleh sistem. Hukum harus mengayomi semua, termasuk yang tidak pernah hadir di ruang sidang tapi terdampak langsung oleh putusannya,” pungkasnya. ***