PALEMBANG – Di tengah semarak pembukaan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) XV Sumatera Selatan yang digelar di Stadion Serasan Sekate, Sekayu, Musi Banyuasin, Sabtu (18/10/2025), sorotan publik justru tertuju pada temuan serius Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap tata kelola dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumsel.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2024, BPK menilai praktik penyaluran dana hibah KONI Sumsel menunjukkan lemahnya tata kelola dan pelanggaran aturan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Salah satu poin krusial yang diungkap ialah penyusunan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang dijadikan dasar pencairan dana—ternyata dibuat dengan mencontek format dari tahun-tahun sebelumnya bahkan dari provinsi lain.
“BPK secara eksplisit mencatat bahwa NPHD tersebut tidak disusun sesuai ketentuan, hanya meniru format lama tanpa penyesuaian terhadap kebutuhan dan peraturan yang berlaku,” demikian tertulis dalam laporan BPK.
BPK mencatat dana hibah untuk KONI Sumsel tahun 2024 disetujui sebesar Rp.10 miliar, dengan realisasi mencapai Rp9,36 miliar. Namun, dokumen NPHD yang digunakan tidak mencantumkan Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang jelas atas penggunaan dana hibah tersebut.
Sebaliknya, dokumen hanya berisi total anggaran untuk tiga program besar tanpa penjabaran detail kegiatan dan biaya. Padahal, Peraturan Gubernur Sumsel Nomor 25 Tahun 2021 secara tegas mewajibkan rincian penggunaan hibah dimuat secara eksplisit dalam NPHD.
Praktik administratif “asal contek” ini, menurut auditor, membuka celah hukum serius karena menciptakan ruang abu-abu antara perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban dana hibah.
Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI), Feri Kurniawan, menilai temuan BPK tersebut tidak bisa dianggap sepele. Ia menegaskan, praktik hibah yang tidak sesuai proposal dan tanpa verifikasi mendalam berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
“Hibah itu harus sesuai peruntukan. Kalau hanya mencontek, jelas tidak mungkin sama antara kebutuhan tahun ini dengan tahun lalu. Akibatnya pertanggungjawaban jadi tidak sesuai dengan proposal, dan itu sudah masuk ranah pidana,” kata Feri saat dihubungi, Selasa (21/10/2025).
Feri juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang semestinya melakukan verifikasi dan validasi proposal hibah.
“TAPD seharusnya tidak hanya menerima proposal mentah. Mereka wajib memastikan kesesuaian antara program yang diajukan dengan pelaksanaan di lapangan,” ujarnya.
K-MAKI menemukan indikasi sejumlah kegiatan yang tidak tercantum dalam proposal awal, namun tetap dibiayai dari dana hibah KONI. Salah satu contoh yang disorot adalah perbaikan kantor KONI Sumsel, yang disebut tidak ada dalam proposal hibah tetapi tetap dilaksanakan.
“Itu contoh nyata proposal bodong. Kalau tidak ada di dalam dokumen perencanaan tapi tetap dikerjakan, itu jelas penyimpangan,” tegas Feri.
K-MAKI mendesak agar pemerintah daerah segera menindaklanjuti temuan BPK dan melakukan pengembalian dana untuk kegiatan yang tidak tercantum dalam NPHD maupun proposal hibah. “Kalau dibiarkan, ini akan menjadi masalah baru yang lebih besar dari kasus KONI sebelumnya,” tambahnya. (*)