PALEMBANG, SUMSELJARRAKPOS – Anggota DPRD Kota Palembang Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Okdi Priantoro, SE, Ak, SH, menekankan pentingnya kepastian mutu dalam peredaran beras premium sebagai bentuk perlindungan nyata terhadap konsumen.
Dirinya mendorong Pemerintah Kota Palembang bersama instansi terkait untuk memperkuat pengawasan terhadap distribusi dan pelabelan beras di pasaran.
“Perlindungan konsumen bukan hanya soal harga, tapi juga tentang mutu. Produk yang dijual dengan label ‘premium’ harus benar-benar memenuhi standar yang ditetapkan,” ujar Andreas, Sabtu (26/7/2025).
Ia merujuk pada Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 yang secara jelas mengatur spesifikasi teknis beras premium.
Dalam aturan tersebut, beras premium harus memiliki butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, serta total butir rusak, kapur, dan merah/hitam tidak melebihi 1 persen. Selain itu, kandungan butir gabah dan benda asing harus nihil.
Standar mutu tersebut, kata Andreas, diperkuat pula dalam ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 untuk beras premium organik maupun nonorganik, yang menetapkan batas lebih ketat dalam beberapa parameter seperti butir kapur dan benda asing.
Andreas menilai pencampuran beras dalam batas wajar bukanlah pelanggaran, selama tetap dalam kerangka mutu yang ditentukan.
“Misalnya, mencampur beras utuh dengan butir patah maksimal 15 persen masih diperbolehkan. Itu bukan oplosan dalam arti negatif,” jelasnya.
Namun, ia menyoroti adanya praktik yang menyimpang dari ketentuan tersebut. Beras yang seharusnya masuk kategori medium atau campuran, namun tetap dijual dengan label premium, menurutnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap kejujuran niaga.
“Kalau dibiarkan, ini merugikan konsumen yang membayar mahal untuk mutu yang tidak sesuai,” tegasnya.
Untuk itu, Andreas mendorong Dinas Perdagangan Kota Palembang, Satgas Pangan, dan otoritas terkait lainnya agar melakukan inspeksi rutin dan sampling produk secara berkala, baik di pasar tradisional maupun ritel modern.
“Jangan sampai masyarakat membayar mahal untuk kualitas yang tidak sesuai. Pengawasan mutu ini menyangkut keadilan dalam perdagangan pangan,” tandasnya. **