PALEMBANG, SUMSELJARRAKPOS — Dosen Fakultas Ilmu Hukum Universitas IBA Palembang, Dr. Dodi IK, SH, menilai kebijakan pemerintah terkait pengelolaan dana BPJS Kesehatan perlu dievaluasi, terutama dalam hal kewajiban iuran bagi masyarakat kurang mampu.
Menurutnya, alokasi dana pemerintah sebesar Rp20 triliun semestinya tidak difokuskan untuk menutup tunggakan iuran peserta, melainkan untuk membayar langsung klaim rumah sakit atas masyarakat yang benar-benar berobat.
“Semestinya Rp20 triliun itu bukan untuk menghapuskan tunggakan iuran BPJS, tapi untuk membayar klaim rumah sakit, biaya riil orang yang berobat. Kalau masyarakat tidak mampu, mestinya dibebaskan dari kewajiban membayar iuran,” tegas Dodi, Kamis (23/10/2025).
Ia menilai, logika kebijakan yang mewajibkan warga miskin tetap membayar iuran justru kontradiktif dengan semangat jaminan sosial yang menjadi tanggung jawab negara.
“Negara punya kewajiban menjamin kesehatan rakyatnya. Tidak semua masyarakat tidak mampu itu sakit dan berobat setiap bulan, jadi membebani mereka dengan iuran rutin justru tidak adil,” ujarnya.
Dodi menjelaskan, konsep ideal yang bisa diterapkan adalah pembebasan iuran bagi masyarakat miskin, dengan skema pembayaran berbasis klaim di mana negara hanya menanggung biaya ketika peserta benar-benar membutuhkan pelayanan kesehatan.
“Cukup ketika mereka berobat, negara membayar biaya pengobatannya. Itu lebih efisien dan tepat sasaran. Kalau dipaksa bayar iuran, ujung-ujungnya akan banyak tunggakan karena kemampuan ekonomi mereka memang terbatas,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik harus tetap berorientasi pada keadilan sosial, bukan pada administrasi iuran semata.
“BPJS itu lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi rakyat, bukan sekadar menarik iuran. Jaminan kesehatan adalah tanggung jawab negara yang dijalankan oleh pemerintah, bukan beban yang dialihkan ke rakyat kecil,” pungkas Dodi. ***