JAKARTA, SUMSEL JARRAKPOS, — Polemik penyaluran Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia mencuat setelah Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI) menuding adanya praktik penyaluran yang menyimpang.
CSR yang semestinya menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, kini disebut-sebut justru menjadi “ladang basah” bagi kepentingan politik.
Deputy K-MAKI, Feri Kurniawan, mengatakan, bahwa skema penyaluran CSR BI melalui Komisi XI DPR RI adalah langkah keliru yang rawan penyalahgunaan. “Penyaluran dana CSR melalui komisi terkait DPR RI merupakan kesalahan besar karena melibatkan pihak ketiga yang rentan menimbulkan biaya operasional tambahan, kepentingan politis partai, fee yayasan penyalur dana, bahkan potensi fiktif karena tidak diaudit,” ujarnya,” Selasa (12/8/2025).
Feri mempertanyakan alasan dana CSR tersebut tidak disalurkan langsung ke pemerintah daerah melalui badan khusus yang dapat diawasi publik. “Kalau ini benar-benar untuk masyarakat, kenapa tidak melalui mekanisme yang transparan dan bisa dikontrol publik? Penyaluran lewat jalur politik membuka ruang akal bulus dan mencari keuntungan pribadi,” katanya.
Menurutnya, indikasi penyimpangan semakin kuat setelah K-MAKI menerima daftar penerima dana CSR BI yang melibatkan sejumlah nama anggota DPR dari berbagai fraksi. Ia menyebut, Heri Gunawan, anggota Partai Gerindra di Komisi XI DPR, tercatat menerima Rp28 miliar—angka tertinggi dibanding rekan-rekannya. Adapun setiap anggota Komisi XI diduga menerima Rp25 miliar.
Daftar penerima itu merentang dari Partai Golkar, PDIP, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, hingga PPP. Nama-nama yang disebut antara lain Kahar Muzakir (Golkar), Andreas Eddy Susetyo (PDIP), Gus Irawan Pasaribu (Gerindra), Fauzi Amro (NasDem), Bertu Merlas (PKB), Marwan Cik Asan (Demokrat), Hidayatullah (PKS), Achmad Hafisz Tohir (PAN), dan Amir Uskara (PPP).
Feri menilai penegakan hukum berpotensi terhambat mengingat keterlibatan lintas partai. “Cherry picking mungkin akan terjadi. Pengaruh politik seringkali menjadi faktor penentu dalam penegakan hukum di negeri ini. Publik cenderung pesimistis kasus ini bisa diungkap tuntas,” tegasnya.
Ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar kasus ini secara serius tanpa pandang bulu. “Kalau KPK berani, ini akan menjadi ujian besar independensi penegakan hukum. Jangan sampai publik semakin yakin bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” pungkasnya.(*)